Anak yang Dekat dengan Allah
Pada
zaman dahulu, di kota Bagdad ada seorang anak bernama Al-Mahdi. Ia terkenal
sebagai anak yang pendiam. Dikalangan teman-temannya yang belajar dengan Syekh
Baidawi, Al-Mahdi dianggap anak tolol. Karena itu ia sering diolok-olok oleh
teman-temannya. Tetapi Al-Mahdi selalu diam saja. Ia anak yang sabar.
Syekh
Baidaw sangat saying kepada Al-Mahdi. Ia sering diperlakukan lebih dari
murid-murid yang lain. Karena itu teman-temannya banyak yang merasa iri
kepadanya. Tetapi mereka tidak berani menentang sikap Syekh Baidawi. Mereka
hanya mencari cara untuk memperdayakan Al-Mahdi.
Syekh
Baidawi tahu ia kurang disenangi teman-temannya karena ia menjadi murid
kesayangan. Guru yang baik hati merasa perlu member penjelasan kepada
murid-muridnya, mengapa Al-Mahdi menjadi murid kesayangan.
Pada
suatu malam, sehabis berjamaah sholat isya, Syekh Baidawi memanggil semua
muridnya. Setelah semua berkumpul, Tuan Syekh mulai berbicara, “Anak-anak, mala
mini aku akan member ujian kepada kalian. Nah, sekarang silakan mengambil
seekor ayam dikandang belakang. Ayo, cepat lakukan!”
Anak-anak
itu lalu segera bangkit, lau pergi kebelakang untuk melakukan tugas dari Tuan
Syekh, Al-Mahdi tidak ketingglan. Setelah masing–masing anak memegang seekor
ayam, mereka kembali menghadap Syekh Baidawi.
“Sekarang
pergilah kalian ketempat yang sepi, lalu sembelihlah ayam yang kalian pegang
itu. Namun, jangan lupa syaratnya. Kalian harus menyembelihnya di tempat yang
sepi. Jangan sampai ada yang melihat peruatan kalian. Bila ada yang melihat,
berarti kalian tidak lulus ujian. Apa kalian sanggup?” tanya tuan syekh.
“Sanggup
Tuan Syekh. Sanggup,” jawab mereka serempak.
“Berangkatlah
kalian sekarang juga. Kalau ayam itu sudah disembelih, bawa ayam itu kemari.”
kata Syekh Baidawi.
Sebelum
subuh, telah banyak murid yang yang datang membawa ayam sembelihan
masing-masing. Syekh Baidawi memeriksa masing-masing ayam yang telah dipotong
itu. Waktu subuh datang, Syekh Baidawi melakukan sholat berjamaah dengan
muridnya. Sampai selesai sholat subuh, hanya Al-Mahdi seorang yang masih belim
datang.
“Mungkin
ia tersesat sehingga ia sulit pulang,” jawab temannya.
“Betul.
Semalam gelap gulita, tidak ada sinar bulan,” kata yang lain.
Saat
mereka saling bertanya tentang Al-Mahdi, Syekh Baidawi datang mendekat. Katanya,
“Aku yakin ia tidak tersesat. Insya Allah ia sebentar lagi ia datang.”
Ternyata
benar ucapan Tuan Syekh. Tidak lama kemudian Al-Mahdi datang. Ia tampak lesu,
dan ayam yang dibawanya masih hidup. Tidak ada sedikitpun luka pada lehernya.
Rupanya ayam itu belum disembelih.
Teman-teman
Al-Mahdi banyak yang terseyum. Mereka gembira karena mereka tidak dapat
melakuka tugas yang diberikan.
“Mengapa
engkau tidak sanggup?” Tanya Tuan Syekh.
“Saya
tidak menemukan tempat menyembelih ayam yang tidak ada menyaksikannya. Saya
selau merasa ada yang melihat perbuatan saya.”
“Mengapa
teman-temanmu bisa menyembelih ayam itu?”
tanya Syekh Baidawi.
“Saya
tidak tahu pikiran teman-teman. Bagi saya sendiri, tidak ada tempat tersembunyi
yang tidak diketahui Allah. Meskipun saya menyembelih ayam itu di dalam gua
yang gelap, Allah pasti melihat perbuatan saya.”
Syekh
Baidawi sangat puas dengan jawaban Al-Mahdi. Sambil mengangguk-ngangguk ia
menoleh kepada murid-murid yang lain. Katanya, “Kamu sudah mendengar jaaban
Al-Mahdi yang selalu merasa dirinya dilihat oleh Allah. Tidak ada tempat di
dunia ini yang bisa dijadikan tempat sembunyi agar tidak dilihat oleh Allah.”
Murid-murid
Syekh Baidawi baru terbuka hatinya, bahwa Al-Mahdi yang pendiam itu bukanlah
anak yang bodoh. Mereka merasa kagum atas keimanan Al-Mahdi.
“Pantas
Al-Mahdi pantas menjadi murid kesayangan,” kata salah seorang murid.
“Ternyata
Al-Mahdi adalah anak yang hatinya selalu dekat dengan Allah,” sahut seorang
anak yang lain.
(Disadur dari Mutiara Takwa1, Penerbit
Gama Media, Yogyakarta).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar